Sejarah Uang Indonesia ‘Rupiah’
Keadaan ekonomi di Indonesia pada
awal kemerdekaan ditandai dengan
hiperinflasi akibat peredaran
beberapa mata uang yang tidak
terkendali, sementara Pemerintah RI
belum memiliki mata uang. Ada tiga
mata uang yang dinyatakan berlaku
oleh pemerintah RI pada tanggal 1
Oktober 1945, yaitu mata uang
Jepang, mata uang Hindia Belanda,
dan mata uang De Javasche Bank.
Diantara ketiga mata uang tersebut
yang nilai tukarnya mengalami
penurunan tajam adalah mata uang
Jepang. Peredarannya mencapai
empat milyar sehingga mata uang
Jepang tersebut menjadi sumber
hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang
paling menderita adalah petani,
karena merekalah yang paling banyak
menyimpan mata uang Jepang.
Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi
diperparah oleh kebijakan Panglima
AFNEI (Allied Forces Netherlands East
Indies) Letjen Sir Montagu Stopford
yang pada 6 Maret 1946
mengumumkan pemberlakuan mata
uang NICA di seluruh wilayah
Indonesia yang telah diduduki oleh
pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes
keras oleh pemerintah RI, karena
melanggar persetujuan bahwa
masing-masing pihak tidak boleh
mengeluarkan mata uang baru
selama belum adanya penyelesaian
politik. Namun protes keras ini
diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA
digunakan AFNEI untuk membiayai
operasi-operasi militernya di
Indonesia dan sekaligus mengacaukan
perekonomian nasional, sehingga
akan muncul krisis kepercayaan rakyat
terhadap kemampuan pemerintah RI
dalam mengatasi persoalan ekonomi
nasional.
Karena protesnya tidak ditanggapi,
maka pemerintah RI mengeluarkan
kebijakan yang melarang seluruh
rakyat Indonesia menggunakan mata
uang NICA sebagai alat tukar. Langkah
ini sangat penting karena peredaran
mata uang NICA berada di luar
kendali pemerintah RI, sehingga
menyulitkan perbaikan ekonomi
nasional.
Oleh karena AFNEI tidak mencabut
pemberlakuan mata uang NICA, maka
pada tanggal 26 Oktober 1946
pemerintah RI memberlakukan mata
uang baru ORI (Oeang Republik
Indonesia) sebagai alat tukar yang sah
di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu
mata uang Jepang, mata uang Hindia
Belanda dan mata uang De Javasche
Bank dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian hanya ada dua mata
uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA.
Masing-masing mata uang hanya
diakui oleh yang mengeluarkannya.
Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah
RI dan mata uang NICA hanya diakui
oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih
banyak memberikan dukungan
kepada ORI. Hal ini mempunyai
dampak politik bahwa rakyat lebih
berpihak kepada pemerintah RI dari
pada pemerintah sementara NICA
yang hanya didukung AFNEI.
Untuk mengatur nilai tukar ORI
dengan valuta asing yang ada di
Indonesia, pemerintah RI pada
tanggal 1 November 1946 mengubah
Yayasan Pusat Bank pimpinan
Margono Djojohadikusumo menjadi
Bank Negara Indonesia (BNI).
Beberapa bulan sebelumnya
pemerintah juga telah mengubah
bank pemerintah pendudukan Jepang
Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat
Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku
menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP)
yang berubah nama pada Juni 1949
menjadi Bank tabungan Pos dan
akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank
Tabungan Negara (BTN). Semua bank
ini berfungsi sebagai bank umum
yang dijalankan oleh pemerintah RI.
Fungsi utamanya adalah menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat
serta pemberi jasa di dalam lalu lintas
pembayaran.
Terbentuknya Bank Indonesia
Jauh sebelum kedatangan bangsa
barat, nusantara telah menjadi pusat
perdagangan internasional.
Sementara di daratan Eropa muncul
lembaga perbankan sederhana,
seperti Bank van Leening di negeri
Belanda. Sistem perbankan ini
kemudian dibawa oleh bangsa barat
yang mengekspansi nusantara pada
waktu yang sama. VOC di Jawa pada
1746 mendirikan De Bank van Leening
yang kemudian menjadi De Bank
Courant en Bank van Leening pada
1752. Bank itu adalah bank pertama
yang lahir di nusantara, cikal bakal dari
dunia perbankan pada masa
selanjutnya. Pada 24 Januari 1828,
pemerintah Hindia Belanda
mendirikan bank sirkulasi dengan
nama De Javasche Bank (DJB). Selama
berpuluh-puluh tahun bank tersebut
beroperasi dan berkembang
berdasarkan suatu oktroi dari
penguasa Kerajaan Belanda, hingga
akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.
Masa pendudukan Jepang telah
menghentikan kegiatan DJB dan
perbankan Hindia Belanda untuk
sementara waktu. Kemudian masa
revolusi tiba, Hindia Belanda
mengalami dualisme kekuasaan,
antara Republik Indonesia (RI) dan
Nederlandsche Indische Civil
Administrative (NICA). Perbankan pun
terbagi dua, DJB dan bank-bank
Belanda di wilayah NICA sedangkan
“Jajasan Poesat Bank Indonesia” dan
Bank Negara Indonesia di wilayah RI.
Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949
mengakhiri konflik Indonesia dan
Belanda, ditetapkan kemudian DJB
sebagai bank sentral bagi Republik
Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus
bertahan hingga masa kembalinya RI
dalam negara kesatuan. Berikutnya
sebagai bangsa dan negara yang
berdaulat, RI menasionalisasi bank
sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953
berubahlah DJB menjadi Bank
Indonesia, bank sentral bagi Republik
Indonesia.
Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta
selama empat tahun pernah menjadi
ibukota Republik Indonesia. Tepatnya
pada 4 Januari 1946 sampai 27
Desember 1949 ibukota Republik
Indonesia ada di Yogyakarta.
Berpindahnya ibukota RI saat itu
bukan tanpa alasan, situasi Jakarta
kala itu dalam kondisi tidak aman dan
roda pemerintahan RI macet total
akibat adanya unsur-unsur yang saling
berlawanan. Di satu pihak masih
adanya pasukan Jepang yang
memegang satus quo, di pihak lain
adanya sekutu yang diboncengi NICA.
Singkatnya, situasi Jakarta makin
genting dan keselamatan para
pemimpin bangsa pun terancam. Atas
inisiatif HB IX, ibukota RI berpindah ke
Yogyakarta. Hijrah ibukota RI itu
merupakan atas nasehat dan prakarsa
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan
dari Yogyalah persoalan politik bangsa
dikoordinasikan. Semua itu bisa
berhasil dengan baik berkat
kepemimpinan HB IX.
Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI
karena pandangan politik ke depan
dan keberanian Sultan HB IX
mengambil resiko. Sehingga dapat
dikatakan HB IX dan masyarakatnya
merupakan penyambung kelangsungn
RI dalam menghadapi agresi militer
Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono
IX merupakan aktor intelektualis yang
memiliki multi status. Selain sebagai
Raja, kepala derah, menteri
pertahanan, Sultan adalah key person
dan juru runding dengan Belanda,
juga sebagai figur kunci birokrasi sipil
di Indonesia. Sri Sultan
Hamengkubuwono IX yang aslinya
bernama G.R.M Dorojatun, sejak
diangkat menjadi Sultan 18 Maret
1940, menggantikan ayahnya Sri
Sultan HB VIII sudah dekat dengan
kalangan rakyat dan tentu saja beliau
memahami aspirasi rakyat, termasuk
penderitaan dan harapannya semasa
penjajahan Belanda dan Jepang.
Karena perpindahan ibukota inilah
maka semua uang ORI yang
diterbitkan pada tahun 1946 s/d 1949
yaitu seri ORI II, III, IV dan ORI Baru
tercantum kata2 Djokjakarta. Bukan
lagi Djakarta seperti pada seri ORI I.
Sabtu, 08 Desember 2012
0 sejarah uang indonesia "RUPIAH"
Date | : Sabtu, 08 Desember 2012 17.54 |
Category | : Ilmu Pengetahuan |
Author | : Unknown |
Share | :
Tweet
|
Responds | : 0 Comment |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search Here
Category
- blogger [1]
- Ilmu Pengetahuan [10]
- Pengetahuan [5]
- Ramalan Cinta [2]
- Sejarah [8]
Popular Post
Pages
Statistik
Diberdayakan oleh Blogger.
Labels
- blogger (1)
- Ilmu Pengetahuan (10)
- Pengetahuan (5)
- Ramalan Cinta (2)
- Sejarah (8)
Posting Komentar